akhlisrizza

Thursday, May 28, 2009

Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan


oleh Jalaluddin Rakhmat
KetuaYayasan Muthahari, Bandung


ALKISAH, seorang Arab Badawi bermaksud menjual
sekarung gandum ke pasar. Berulangkali ia mencoba
meletakkan karung itu di atas punggung unta; dan
berulangkah ia gagal. Ketika ia hampir putus asa,
terkilas pada pikirannya pemecahan yang sederhana. Ia
mengambil satu karung lagi dan mengisinya dengan
pasir. Ia merasa lega, ketika kedua karung itu
bergantung dengan seimbang pada kendaraannya. Segera
ia berangkat ke pasar.

Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang asing yang
berpakaian compang-camping dan berkaki telanjang. Ia
diajak oleh orang asing itu untuk berhenti sejenak,
beristirahat, dan berbincang-bincang. Sebentar saja,
orang Badawi itu menyadari bahwa yang mengajaknya
berbincang itu orang yang banyak pengetahuan. Ia
sangat terkesan karenanya. Tiba-tiba, orang asing itu
menyaksikan dua buah karung bergantung pada punggung
unta.

"Bapak, katakan apa yang bapak angkut itu; kelihatan
sangat berat", tanya orang asing itu. "Salah satu
karung itu berisi gandum yang akan saya jual ke pasar.
Satu lagi karung berisi pasir untuk menyeimbangkan
keduanya pada punggung unta", jawab orang Badawi.
Sambil tertawa, orang pintar itu memberi nasehat,
"Mengapa tidak ambil setengah dari karung yang satu
dan memindahkannya ke karung yang lain. Dengan begitu,
unta menanggung beban yang ringan dan ia dapat
berjalan lebih cepat."

Orang Badawi takjub. Ia tidak pernah berpikir secerdik
itu. Tetapi sejenak kemudian, ketakjubannya berubah
menjadi kebingungan. Ia berkata, "Anda memang pintar.
Tapi dengan segala kepintaran ini mengapa Anda
bergelandangan seperti ini, tidak punya pekerjaan dan
bahkan tidak punya sepatu. Mestinya kepandaian Anda
yang dapat mengubah tembaga menjadi emas akan
memberikan kekayaan kepada Anda."

Orang asing itu menarik nafas panjang, "Jangankan
sepatu, hari ini pun saya tidak punya uang sepeser pun
untuk makan malam saya. Setiap hari, saya berjalan
dengan kaki telanjang untuk mengemis sekerat atau dua
kerat roti."

"Lalu apa yang Anda peroleh dengan seluruh kepandaian
dan kecerdikan Anda itu."

"Dari semua pelajaran dan pemikiran, aku hanya
memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa.
Percayalah, semuanya itu hanya bencana bagiku, bukan
keberuntungan."

Orang Badawi itu berdiri, melepaskan tali unta, dan
bersiap-siap untuk pergi. Kepada filsuf yang kelaparan
di pinggir jalan, ia memberi nasehat, "Hai, orang yang
tersesat. Menjauhlah dariku, karena aku kuatir
kemalanganmu akan menular kepadaku. Bawalah semua
kepandaianmu itu sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya
dengan ilmumu itu kamu ambil suatu jalan, aku akan
mengambil jalan yang lain. Sekarung gandum dan
sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi itu lebih baik
daripada kecerdikan yang sia-sia. Anda boleh jadi
pandai, tetapi kepandaian Anda itu hanya kutukan; saya
boleh jadi bodoh, tapi kebodohan saya mendatangkan
berkat, karena walaupun saya tidak cerdik, tetapi hati
saya dipenuhi rahmat-Nya dan jiwa saya berbakti
kepada-Nya."

Kisah Jalal al-Din Rumi, yang saya ceritakan kembali
dengan bahasa saya itu, merupakan kritik halus kepada
para filsuf yang berusaha mengetahui Tuhan dengan
akalnya. Moral cerita ini ditutup dengan kuplet-kuplet
berikut:

Jika kau ingin derita
benar-benar hilang dari hidupmu
Berjuanglah untuk melepaskan
'kebijakan' dari kepalamu
Kebijakan yang lahir dari tabiat insani
tak menarik kamu lebih dari khayalan
Karena kebijakan itu tidak diberkati
yang mengalir dari cahaya kemuliaan-Nya
Pengetahuan tentang dunia
hanya memberikan dugaan dan keraguan
Pengetahuan tentang Dia, kebijakan ruhani sejati
membuatmu naik keatas duniawi
Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan
semua pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati
dalam kecerdikan dan permainan bahasa
Raja sejati adalah dia
yang menguasai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya
Menguasai dunia dan dirinya
Rumi menunjukkan bahwa dengan intelek kita tidak akan
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Intelek
mempunyai kemampuan terbatas; dan karena itu, tidak
akan mampu mencerap Tuhan yang tidak terbatas.
Sekiranya intelek mencoba memahami Tuhan, ia akan
memberikan batasan kepada-Nya. Tuhan para pemikir
adalah Tuhan yang didefinisikan.

Rumi mewakili para sufi yang ingin mengetahui Tuhan
melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta,
bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak
ingin mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan
Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan
mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan dan
kontroversi. Melalui mujahadah dan 'amal, kita dapat
menyaksikan Tuhan dengan penuh keyakinan.

Dalam Matsnawi, Daftar-e Sevon, Bait 1267, Rumi
menyingkatkan pengetahuan hasil pemikiran: Az nazar
keh guftesyan syud mukhtalef, an yeki dalesy laqb dad
in alef. Karena pemikiran ucapan mereka bertentangan,
kata yang satu dal kata yang satu alif. Seperti Kucing
Schroedinger dalam fisika, pengamat menciptakan
realitas. Tuhan menjadi hasil konstruksi manusia.
Tuhan dapat muncul dalam berbagai "bentuk" sesuai
dengan siapa yang memahami-Nya.

Seperti Rumi, Ibn 'Arabi menunjukkan kekeliruan
pengetahuan tentang Tuhan yang dilakukan oleh para
filsuf dan ahli ilmu kalam. Pemikiran tidak mungkin
mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan;
malahan pemikiran seperti itu hanya menghasilkan
tipuan, khayalan, dan pertentangan. Ia menulis:

Pengetahuan ahli ilmu kalam dan filsuf berkenaan
dengan esensi Tuhan bukanlah cahaya. Tidak ada satu
madzhab pun yang tidak punya para pendukungnya. Mereka
sendiri tidak sepakat, tetapi mereka tetap juga
digambarkan sebagai kaum Mu'tazilah atau Asy'ariyah,
seperti itu juga pada filsuf dalam ajaran mereka
tentang Tuhan dan apa yang harus dipercayainya. Mereka
belum sepakat di antara mereka tetapi setiap kelompok
mempunyai status dan nama ... Kita melihat nabi dan
rasul yang terdahulu dan yang kemudian sejak Adam
sampai Muhammad, termasuk yang datang di antara mereka
'alayhim al-salam; mereka tidak pernah berikhtilaf
dalam akar keimanan mereka pada Tuhan ... Jadi,
berpegang-teguhlah kepada keimanan dan lakukanlah apa
yang diperintahkan Tuhan kepadamu dan ingat Tuhanmu
pada waktu pagi dan sore (Q., s. alA'raf/7:205) dengan
zikir yang ditetapkan syari'at kepadamu baik dengan
mengulangi la ilaha illaAllah (tahlil) atau tasbih dan
takutlah kepada Tuhan. Jika al-Haqq berkehendak untuk
memberikan kepadamu apa yang Dia mginkan berupa
pengetahuan tentang Dia, hadirkan akalmu dan hatimu
(lubb) apa yang Dia berikan dan anugerahkan kepadamu
berupa pengetahuan tentang Dia. Sesungguhnya inilah
pengetahuan yang bermanfaat dan cahaya yang dengan itu
hatimu hidup, dan berjalan bersamamu di dunia ini.
Dengannya kamu selamat dari kegelapan syubhat dan
keraguan yang terjadi pada pengetahuan yang dihasilkan
oleh pemikiran (afkar) ... Saya sudah membimbingmu,
saudara, bagaimana mencapai jalan pengetahuan yang
bermanfaat. Jadi, bila kamu sudah merintis jalan yang
lurus, ketahuilah bahwa Tuhan sudah membimbing
tanganmu, memeliharamu, dan telah mempersiapkan kamu
untuk diri-Nya.
Pada tempat lain, Ibn 'Arabi menulis:

Di antara berbagai kelompok, tidak ada seorang pun
yang lebih tinggi dari orang yang memperoleh
pengetahuan melalui taqwa. Taqwa terletak pada tingkat
pencapaian pengetahuan yang paling tinggi. Ia saja
yang memiliki keputusan yang pasti. Otoritasnya berada
di atas setiap keputusan yang ada dan di atas setiap
orang yang membuat keputusan. Ia adalah qadli yang
terbaik. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh pada
tingkat permulaan. Karena itu, hanya orang yang
berilmu di antara orang yang beriman yang dipilih
untuk memperolehnya: yakni, mereka yang tahu bahwa ada
Seseorang untuk kembali, dan menyaksikan-Nya dapat
diraih. Jika mereka jahil dari pengetahuan ini,
aspirasinya (himmah) akan sangat lemah sehingga
sekiranya al-Haqq menampakkan diri-Nya (tajalli)
kepada mereka, mereka akan menafikan-Nya dan
menolak-Nya, karena pandangan mereka dibatasi
(muqayyad) oleh sesuatu. Selama faktor pembatas itu
tidak ada pada waktu penampakan diri-Nya (tajalli),
mereka pasti akan menolak bahwa itu Tuhan, sekalipun
Tuhan berbicara kepada mereka secara langsung atau
mereka mendengar ucapan bahwa Dia itu Tuhan. Karena
tidak memperoleh ilham dan karena pemikiran rasional
mereka meyakinkan mereka bahwa tidak mungkin siapa pun
dapat melihat al-Haqq --seperti para filsuf dan kaum
Mu'tazilah-- bahkan sekiranya kita mengetahui-Nya,
mereka niscaya menolak-Nya dalam penampakan-Nya kepada
mereka. Diperlukan bagi orang beriman agar cahaya
imannya membawanya kepada apa yang telah membawa Musa
a.s. ketika ia bertanya: Ya Tuhanku, tampakkan diri-Mu
kepadaku agar aku dapat melihat-Mu (Q., s.
al-A'raf/7:143).
Apa yang dikritik Ibn 'Arabi dan para sufi lainnya
bukan intelek dalam pengertian akal, tetapi salah satu
di antara fakultas (quwwah) dibawah kekuasaan akal.
Kekuatan itu disebut daya pikir (quwwah mufakkirah).
Tidak mungkin kita mengulas epistemologi Ibn 'Arabi di
sini, baik karena keterbatasan waktu maupun karena
sudah adanya tulisan orang lain yang lebih lengkap.
Tetapi secara singkat bisa kita katakan, bahwa Ibn
'Arabi menyatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan
hanya dapat diperoleh bila intelek dihadapkan kepada
hati dan mengambil pelajaran dari hati.

Sekali intelek diyakinkan tentang perlunya mengambil
pelajaran dari hati, manusia memulai kelahiran baru
dalam perjalanan panjangnya. Ia akan beristirahat di
tempat tinggalnya, berhenti di daerah-daerah pedesaan,
merasakan situasi baru setiap saat, menunggu dengan
penuh gairah apa yang bakal datang, tetapi ia tidak
akan pernah sampai, karena pengetahuan tidak punya
akhir dan tidak ada batasnya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui hati adalah
pengetahuan yang sejati. Pengetahuan ini tidak
didasarkan pada pendefinisian Tuhan, tetapi pada
penyaksian Tuhan. Dalam istilah al-Qur'an, pengetahuan
ini disebut pertemuan (liqa'). Bersama Ibn 'Arabi,
al-Ghazali, al-Nasafi, dan tokoh-tokoh sufi lain
sepanjang zaman kita diberi petunjuk bagaimana sampai
kepada Pertemuan Agung ini.

Sebelum saya mengakhiri makalah ini dengan petunjuk
Ibn'Arabi dalam Risalah al Anwar fi ma Yumnah
al-Khalkwah min al-Asrar, saya tergoda untuk mengutip
al-Syaykh Ahmad Rifa'i al-Husayni, tokoh sufi yang
hidup pada abad keenam Hijriyah:

Kebanyakan orang mengetahui Tuhan melalui berita
tentang Tawhid yang dibawa dari Nabi Muhammad s.a.w.
Mereka membenarkannya dengan hati, mengamalkannya
dengan tubuh, tetapi mengotori diri mereka dengan dosa
dan maksiat. Maka hiduplah mereka di dunia dalam
kebodohan dan kekurangan. Mereka berada dalam bahaya
besar kecuali yang disayangi oleh Yang Pengasih dari
segala yang mengasihi.
Lebih tinggi dari itu, ada sekelompok manusia yang
mengenal Tuhan dengan pembuktian. Mereka adalah ahli
pikir, nalar, dan akal. Mereka meyakini tawhid
berdasarkan dalil, ayat-ayat, dan tanda-tanda
ketuhanan. Mereka mengetahui yang gaib atas dasar yang
konkret. Mereka meyakini kebenaran dalil. Mereka
berada pada jalan yang benar, hanya saja, mereka
terhalang tirai dari Allah Ta'ala dengan perhatian
mereka kepada dalil-dalil mereka.

Ahli ma'rifat khusus mengetahuinya dengan keyakinan
yang paling utama. Mereka tenteram dalam pengetahuan
mereka. Tidak merisaukan mereka dalil. Tidak
memalingkan mereka sebab. Dalil mereka Rasulullah
s.a.w. Iman mereka al-Qur'an. Cahaya mereka menerangi
di hadapan mereka.

Barangsiapa yang mengenal Allah Ta'ala berdasarkan
berita maka ia seperti saudara-saudara Yusuf ketika
mengetahui rupanya tapi tidak menyadarinya, sehingga
mereka dipermalukan di hadapannya, ketika mereka
berkata: jika ia mencuri maka sesunggulmya saudaranya
telah mencuri pula sebelum itu (Q., s. Yusuf/12:77).

Barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan dalil maka ia
seperti Ya'qub a.s. ketika tahu bahwa Yusuf masih
hidup, sehingga bertambah-tambah tangisan dan
penderitaannya, sehingga ditanggungnya berbagai bala
sampai putih matanya karena kesedihan, karena tahu
bahwa Yusuf masih hidup dan karena rindu untuk
berjumpa dengannya. Ia berkata: Pergilah selidiki
keadaan Yusuf, aku sudah mencium bau Yusuf. Karena
ucapannya itu, orang-orang yang tidak tahu berkata;
Demi Allah sesungguhnya engkau dalam kesesatanmu yang
terdahulu (Q.,s.Yusuf/12:59). Mereka berkata: Demi
Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf sehingga kamu
mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-arang
yang celaka (Q., s. Yusuf/12:85).

Perumpamaan orang yang mengenal Tuhan melalui Tuhan
adalah seperti Bunyamin yang diambil Yusuf untuk
dirinya. Yusuf berkata: "Saudaraku, apakah kamu ingin
menyaksikanku atau kembali kepada bapakmu?" Ia
berkata: "Aku ingin menyaksikanmu". Yusuf berkata:
"Jika kamu menginginkan aku, bersabarlah atas
ujianku". Ia berkata: "Aku siap, karena engkau akan
kupikul segala bencana asalkan aku tinggal bersamamu
dan tidak berpisah denganmu". Kemudian Yusuf
mengeluarkan gandum dari kantong Bunyamin dan menuduh
saudaranya mencuri. Seluruh penduduk kola mengecam dan
mengejek Bunyamin. Saudara-saudaranya
mempersalahkannya. Tetapi ia sendiri bergembira,
tertawa dalam kesendiriannya. Ia tidak takut pada
ejekan orang-orang yang mengejek. Inilah perumpamaan
ahli yaqin dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home