akhlisrizza

Tuesday, February 06, 2007

Tarif PDAM Kota Malang

Kejutan 2007 : Kenaikan Tarif PDAM Kota Malang

Bagi sebagian warga Malang, kejutan awal tahun 2007 telah tiba : kenaikan tarif PDAM yang konon mencapai 18%. Rencana kenaikan yang pernah beberapa kali muncul di media massa akhirnya ditegaskan oleh anggota DPRD kota Malang dalam sebuah koran. Konon PDAM perlu dana sebanyak 11 milyar untuk membuat jaringan di tiga kelurahan: Tasikmadu, Cemorokandang, dan Madyopuro. Selain itu, PDAM perlu dana pembelian pompa air 1 milyar. Lebih jauh, wakil rakyat itu juga mengisyaratkan tahun 2008 tarif PDAM bakal naik lagi.
Akhirnya, belum hilang kesal akibat kenaikan BBM di awal 2006, minyak tanah yang seringkali langka, serta kebutuhan pokok yang membumbung di awal tahun 2007, kini warga Malang nyata-nyata harus bersiap merogoh kocek lebih dalam untuk membayar PDAM.

Ada beberapa hal yang sebenarnya harus dipikirkan ulang sebelum kenaikan PDAM direalisasikan, terutama dari sisi konsumen.

Pertama, janji peningkatan kualitas pelayanan pasca kenaikan tarif PDAM yang lalu. Seharusnya dikaji apakah peningkatan kualitas pelayanan yang pernah dijanjikan itu benar-benar terealisasi. Perlu diadakan survey oleh tim independen yang benar-benar akurat untuk membuktikan kepuasan pelanggan. Total mati aliran air harus turun dibanding tahun yang lalu. Hasil survey harus diumumkan secara transparan kepada masyarakat. Sebelum janji peningkatan kualitas pelayanan dipenuhi, seharusnya kenaikan tarif PDAM harus ditunda hingga janji yang belum terpenuhi itu benar-benar terealisasi. Berdasarkan pengalaman penulis, banyak keluhan masih dirasakan pelanggan PDAM, seperti air yang mati tanpa pemberitahuan, hingga pusat pengaduan PDAM yang tidak dapat dihubungi setiap saat.

Kedua, apabila kenaikan tarif PDAM digunakan untuk investasi pembangunan jaringan, maka logika umum menyatakan seharusnya tidak dibebankan kepada konsumen. Sebagai sebuah perusahaan, PDAM dapat meminjam dana kepada lembaga keuangan seperti bank. Apabila PDAM sebagai perusahaan tidak memperoleh pinjaman dari bank, maka sesungguhnya kredibilitas PDAM sebagai perusahaan sangat diragukan. Dalam kondisi seperti ini, sudah selayaknya jajaran direksi PDAM dievaluasi.

Ketiga, seringkali alasan kenaikan tarif di Indonesia selalu didasari bahwa harga/tarif masih terlalu murah dan belum menutup ongkos produksi. Pada posisi ini, perusahaan bersifat seperti dewa penolong yang serba sosial. Untuk membuktikan bahwa tarif masih terlalu murah, maka perlu dijelaskan kepada pelanggan berapa tarif yang ideal. Penjelasan tarif tersebut juga harus disertai penjelasan mengenai biaya produksi secara transparan, sehingga tarif ekonomis itu benar-benar tarif `ideal` dan bukan tarif yang mahal akibat inefisiensi PDAM.

Keempat, memang PDAM bukan perusahaan publik. Namun PDAM ialah perusahaan yang melayani masyarakat dan hidup dari tarif yang dibayar oleh masyarakat. Lebih jauh, PDAM ialah satu-satunya penyedia air bersih di kota Malang. Alangkah idealnya jika prestasi atau kinerja PDAM diketahui oleh masyarakat dengan mengumumkan di media massa. Transparansi kerja itu bukan bermaksud untuk menelanjangi PDAM, tapi lebih pada upaya pada mewujudkan budaya kerja yang baik dan pelaksanaan prinsip manajemen bisnis modern.

Empat hal di atas pada dasarnya ialah masukan bagi yang berwenang sebelum benar-benar menaikkan tarif PDAM mengingat kondisi masyarakat sekarang sedang menanggung beban ekonomi yang berat. Kenaikan tarif yang tidak ditetapkan dengan tepat justru kontraproduktif karena dapat berakibat fatal, kenaikan volume pemakaian air ilegal misalnya. Sudah saatnya PDAM kota Malang berubah menjadi perusahaan yang profesional dan modern.